Senin, 12 November 2012

HUBUNGAN METABOLISME, AKTIVITAS OBAT DAN RANCANGAN OBAT


           HUBUNGAN METABOLISME, AKTIVITAS OBAT DAN RANCANGAN OBAT







                                                                     OLEH
                                               NAMA                     : LA MALIHI
                                               NO.STAMBUK       : 150 209 0317
                                               KELAS                    : L.2
                                               DOSEN                   : NURMAYA EFFENDY,S.Si.M.Sc.,Apt


                                                            FAKULTAS FARMASI
                                               UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
                                                                   MAKASSAR
                                                                          2012



                                                                      BAB I
                                                             PENDAHULUAN

Pengertian
           Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa obat oleh organisme hidup, pada umumnya dilakukan melalui proses enzimatik. Proses metabolisme obat merupakan salah satu hal penting dalam penentuan durasi dan intensitas khasiat farmakologis obat.
           Metabolisme obat sebagian besar terjadi di reticulum endoplasma sel – sel hati. Selain itu, metabolisme obat juga terjadi di sel – sel epitel pada saluran pencernaan, paru – paru , ginjal, dan kulit. Metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor – faktor antara lain faktor fisiologis ( usia, genetika, nutrisi, jenis kelamin ), serta penghambatan dan juga induksi enzim yang terlibat dalam proses metabolisme obat. Selain itu , faktor patologis ( penyakit pada hati atau ginjal ) juga berperan dalam menentukan laju metabolisme obat.
           Obat – obatan di metabolisme dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi, konjugasi, kondensasi atau isomerasi, yang tujuannya supaya sisa obat mudah dibuang oleh tubuh lewat urin atau empedu. Kecepatan metabolisme pada tiap orang berbeda tergantung faktor genetic, penyakit yang menyertai ( terutama penyakit hati dan gagal jantung ), dan adanya interaksi antara obat – obatan. Dengan bertambahnya umur, kemampuan metabolisme hati menurun samapi lebih dari 30% karena menurunnya volume dan aliran darah ke hati. Ginjal adalah tempat utama “ ekskresi “ / pembuangan obat. Sedangkan system billier membantu eksresi untuk obat – obatan yang tidak di absorpsi kembali dari system pencernaan. Sedangkan kontribusi dari intestine ( usus ), ludah, keringat, air susu ibu, dan lewat paru – paru kecil, kecuali untuk obat – obat anestesi yang dikeluarkan waktu ekshalasi.
           Metabolisme oleh hati membuat obat lebih “polar “dan larut air sehingga mudah diekresi oleh ginjal. Obat di hati, dan pada umumnya obat sudah dalam bentuk tidak aktif jika sampai di hati, hanya beberapa obat tetap dalam bentuk aktif sampai di hati. Obat – obatan di metabolisme dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi, konjugasi, kondensasi atau isomerasi, yang tujuannya supaya sisa obat mudah dibuang oleh tubuh lewat urin dan empedu.
            Di dalam tubuh obat dapat berikatan dengan protein darah jaringan dan lemak, dan juga obat – obat di metabolisme dengan cara reaksi konjugasi yaitu reaksi penggabungan molekul obat dan hasil metabolisme pada reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis yang mengubah obat menjadi senyawa lain dengan senyawa pengkonjugasi endogen tubuh.

                                                                          BAB II
                                                                   PEMBAHASAN

A.    Hubungan Praobat, Metabolisme dan Aktivitas Obat
            Banyak contoh obat yang setelah mengalami proses metabolisme di tubuh menghasilkan metabolit aktif. Senyawa induk obat tersebut disebut pra-obat, yang pada in vitro tidak menimbulkan aktivitas biologis. Pra-obat bersifat labil, di dalam tubuh (in vivo) mengalami perubahan, melalui proses kimia atau enzimatik, menjadi senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor menghasilkan respons farmakologis.
Penemuan bahwa efek obat kadang-kadang ditimbulkan oleh metabolitnya, mempunyai peran penting dalam penggunaan metabolit itu sendiri sebagai obat, oleh karena :
a.    Metabolit kemungkinan menimbulkan toksisitas atau efek samping lebih rendah dibanding pra-obat.
b.    Secara umum metabolit mengurangi variasi respons klinik dalam populasi yang disebabkan perbedaan    kemampuan metabolisme oleh individu-individu atau oleh adanya penyakit tertentu.
            Senyawa yang pertama kali digunakan di klinik sebagai prekursor adalah arsfenamin, untuk pengobatan sifilis. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa bentuk metabolitnya yaitu oksofenarsin mempunyai aktivitas lebih besar terhadap mikroorganisme. Oksofenarsin kemudian digunakan sebagai pengganti arsfenamin karena selain lebih aktif, toksisitasnya juga lebih rendah.
             Kloralhidrat, senyawa hipnotik, pada manusia dimetabolisme menjadi senyawa aktif trikloroetanol, bentuk glukuronida dan asam trikloroasetat. Sekarang digunakan trikloroetanol atau garamnya asam trikloroetanol fosfat (triklofos) sebagai pengganti kloralhidrat, karena kloralhidrat mempunyai rasa tidak enak dan menimbulkan efek samping iritasi saluran cerna.
             Penemuan zat warna azo prontosil merupakan awal dari pengobatan infeksi dengan turunan sulfonamida. Pada in vitro prontosil tidak aktif terhadap mikroorganisme tetapi pada in vivo aktif. Penemuan bahwa prontosil adalah pra-obat dan bentuk yang mendapatkan turunan sulfonamida yang lebih unggul, dengan cara modifikasi molekul sulfanilamid. Sampai sekarang telah tersedia berbagai macam turunan sulfonamida yang digunakan sebagai obat antiinfeksi, seperti sulfadiadzin, sulfametoksazol, dan sulfaguanidin.
Obat antimalaria pamakuin dan paludrin adalah pra-obat, keduanya diubah oleh enzim tubuh menjadi bentuk metabolit yang aktif terhadap parasit malaria. Pamakuin mengalami dealkilasi dan dioksidasi menjadi bentuk kuinon, yang secara in vivo 16 kali lebih aktif dibanding senyawa induknya.
            Paludrin (klorguanil = proguanil) dimetabolisis membentuk cincin tertutup yang aktif yaitu turunan dihidrotriazin (sikloguanil). Ada hubungan struktur yang jelas antara metabolit aktif sikloguanil dan obat antimalaria pirimetamin, dan keduanya mempunyai mekanisme kerja serupa paludrin. Sikloguanil kemudian digunakan sebagai antimalaria, dalam bentuk garam embonat atau pamoat, dan diberikan secara injeksi intramuscular dosis tunggal dalam bentuk suspense dalam minyak. Pemberian garam tersebut memberikan perlindungan terhadap infeksi malaria selama beberapa bulan, karena senyawa mempunyai kelarutan dalam lemak yang tinggi dan dilepaskan secara perlahan-lahan dari depo, kemudian termetabolisis melepaskan obat aktif.
            Metsuksimid, obat antiepilepsi, aktivitasnya berhubungan dengan kadar metabolit dalam plasma. Obat mengalami demetilasi dalam tubuh menjadi metabolit aktif fensuksimid, yang mempunyai aktivitas 700 kali lebih besar dibanding senyawa induknya.
Dengan cara yang sama metilfenobarbital diubah menjadi metabolit aktif fenobarbital, sementara primidon dioksidasi menjadi fenobarbital.
           Asetosal adalah pra-obat dari asam salisilat, yang menimbullkan efek iritasi terhadap mukosa saluran cerna lebih kecil dibanding asam salisilat.
          Fenilbutazon (butazolidin) pada in vivo diubah menjadi dua bentuk hidroksilasi, yaitu pada cincin benzen, menghasilkan oksifenbutazon, dan pada atom C rantai samping. Obat ini digunakan terutama sebagai antiradang, dan bentuk yang aktif adalah oksifenbutazon. Fenilbutazon juga digunakan sebagai urikosurik untuk pengobatan penyakit pirai, dan yang aktif adalah bentuk hidroksilasi pada atom C rantai samping. Pengamatan bahwa substitusi pada rantai samping fenilbutazon dapat meningkatkan efek urikosurik, mempunyai peranan penting pada penemuan obat baru yang lain, seperti sulfinpirazon.                                     
           Fenasetin, obat anelgesik dan antipiretik, terutama dimetabolisis dalam tubuh menjadi metabolit aktif, N-asetil-p-aminofenol (asetaminofen) dan dalam jumlah kecil metabolit glukuronida dari 2-hidroksifenasetin yang tidak aktif. Sekarang fenasetin digunakan oleh asetaminofen karena bersifat nefrotoksik dan menimbulkan efek samping methemoglobin yang lebih besar dibanding asetaminofen.
           Meskipun demikian pada dosis berlebih, asetaminofen dapat menimbulkan kerusakan hati karena pada jalur biotransformasi normal akan membentuk metabolit reaktif N-asetilimidokuinon yang dapat mengikat jaringan hati secara irreversibel. Pada dosis normal metabolit reaktif akan terkonjugasi dengan glutation.

B.    Rancangan Praobat untuk Mengembangkan Sifat Fisika dan Sifat Biologi Obat

            Sifat fisika dan biologis obat yang tidak diinginkan, seperti baud an rasa yang tidak enak, efek iritasi pada saluran cerna, dan absorbs dalam usus yang rendah, kemungkinann dapat diperbaiki atau dihilangkan melalui modifikasi kimia molekul senyawa induk, dengan cara membentuk pra-obat yang tidak aktif. Setelah diabsorbsi, pra-obat mengalami hidrolisis atau reduksi di hati oleh enzim-enzim tubuh menghasilkan obat aktif.
                 Proses di atas dapat dijelaskan secara skematik sebagai berikut :
          Enzim-enzim yang terlibat dalam aktivasi pra-obat antara lain adalah α-kimotripsin, tripsin, elastase, karboksilesterase, dan lipase. Enzim-enzim tersebut mampu menghidrolisis ester atau ikatan peptida pra-obat, menghasilkan senyawa aktif.
          Zimogen merupakan prekursor dari enzim-enzim α-kimotripsin, tripsin, dan elastase. Zimogen dihasilkan oleh pankreas dan bersifat tidak aktif. Setelah memasuki duodenum zimogen diubah oleh enzim preoteolik menjadi enzim-enzim aktif, yang dapat memecah protein dan polipeptida melalui proses hidrolisis ikatan peptida. Ikatan peptida dari sisi karboksil dari triptofan, tirosin, dan fenilalanin lebih cepat dihidrolisis oleh α-kimotripsin dibanding ikatan peptida yang berdekatan dengan residu hidrofob, seperti pada leusin dan metionin, atau pada ikatan peptida lain yang ada dalam struktur peptida. Ester dan turunan amida dari triptofan, tirosin, dan fenilalanin juga merupakan substrat yang baik dari enzim α-kimotripsin. Contohnya yaitu pada p-nitrofenilasetat, substrat tidak khas yang mempunyai gugus penarik electron kuat, dengan mudah dihidrolisis oleh α-kimotripsin.
           Tripsin secara cepat menghidrolisis ikatan-ikatan peptida turunan ester dan amida dari L-asam amino dasar, seperti arginin dan lisin, sedang enzim elastase menunjukkan kekhasan yang tinggi terhadap turunan asam amino yang tidak bermuatan dan asam amino rantai samping non-aromatik, seperti glisin, alanin, valin, leusin, dan serin.
           Enzim karboksilesterase, teruatama yang terdapat di hati, ginjal, duodenum, dan otak, dengan cepat menghidrolisis ester-ester, dan dengan kecepatan yang lebih rendah pada beberapa amida-amida. Karboksilesterase lebih efisien untuk menghidrolisis ester-ester tidak khas dibanding α-kimotripsin, dengan kecepatan 104 - 105 lebih besar.
          Enzim lipase pancreas yang terdapat saluran cerna dapat menghidrolisis ester-ester yang tidak larut sempurna dalam air. Telah banyak pengetahuan tentang proses metabolism yang terjadi dalam tubuh. Obat sebagai subyek akan diubah menjadi produk biologis yang aktif. Dalam hal tertenntu, pengetahuan ini merangsang ahli kimia medicinal untuk melakukan manipulasi kimia yang lebih baik agar menghasilkan obat yang secara terapetik aktif dan mempunyai penampilan yang lebih baik dibanding senyawa induk.
           Manipulasi kimia mungkin dirancang untuk memperpendek atau meningkatkan masa kerja senyawa induk, dengan cara modifikasi senyawa induk dan meramalkan hal-hal yang mempengaruhi kecepatan metabolismenya. Modifikasi ini dapat mempengaruhi lama obat dalam plasma dan menjaga agar kadar obat tetap berada di atas nilai ambang yang bertanggung jawab pada efek farmakologis.
Pendekatan yang lebih rasional pada pengembangan obat-obat ini hanya untuk obat-obat yang telah ada atau pada tipe-tipe dasar obat dengan aktivitas yang telah diketahui. Hal ini berarti untuk mendapatkan aktivitas biologis yang diinginkan, senyawa induk sebagai jalur pengembangan produk terapetik, menjadi lebih dapat diterima dan lebih meyakinkan dibanding sebelumnya.
          Pengembangan pra-obat digunakan untuk meingkatkan absorbsi obat dalam saluran cerna, menghilangkan sifat fisik, seperti bau dan rasa yang tidak menyenangkan, untuk pengaturan obat pada tempat yang spesifik dalam tubuh, untuk meningkatkan kelarutan obat, untuk memperpendek masa kerja obat, untuk memperpanjang masa kerja obat, dan untuk meningkatkan kestabilan obat.
1.    Enzim-enzim yang terlibat dalam aktivasi pra-obat
2.    Modifikasi untuk meningkatkan penyerapan obat
           Pada pemberian secara oral, banyak turunan penisilin yang tidak diabsorbsi secara baik pada saluran cerna. Oleh karena itu, digunakan ester-ester lipofilnya untuk meningkatkan absorbs obat. Ester-ester alifatik sederhana dan ester pra-obat dari penisisilin diabsorbsi lebih baik pada saluran cerna, di tubuh ester akan terhidrolisis melepaskan penisilin. Ampisilin, antibiotic turunan penisilin dengan spektrum luas, mempunyai sifat lipofil yang rendah, pada pemberian secara oral hanya 30-40% yang diabsorbsi oleh saluran cerna. Bentuk pra-obat ester ampisilin seperti pivampisilin, bakampisilin, dan talampisilin lebih mudah diabsorbsi oleh saluran cerna dibanding ampisilin. Dalam cairan tubuh, pra-obat di atas segera terhidrolisis oleh enzim esterase melepaskan ampisilin.
            Pivampisilin adalah pra-obat yang lebih disukai karena sebelum diabsorbsi hanya sedikit yang terhidrolisis dalam usus. Pivampisilin merupakan ester pivaloiloksimetil, emngandung gugus asiloksimetil, yang segera terhidrolisis oleh enzim membentuk ester hidroksimetil. Ester ini adalah hemiasetal dari formaldehid, di tubuh ester secara spontan terpecah melepaskan ampisilin dan formaldehid. Bakampisilin dengan cara serupa akan dipecah menjadi ampisilin dan asetaldehid, sedang talampisilin menjadi ampisilin dan 2-karboksibenzaldehid.
             Bentuk ester sederhana penisilin, missal ester metil, lebih stabil secara in vivo kemungkinan karena membentuk enzim-asil yang stabil, oleh adanya pengaruh halangan ruang dari inti penisilin, dengan melepaskan fragmen alkohol.
             Ester asiloksimetil juga membentuk enzim-asil dengan pengaruh halangan ruang yang lebih rendah sehingga mudah mengalami deasilasi. Obat yang mempunyai kepolaran tinggi tidak dapat melewati sawar darah otak. Penetrasi yang baik dari antagonis gas saraf pralidoksim ke system saraf pusat dapat dicapai dengan menggunakan bentuk pra-obat turunan dihidropiridin, suatu garam piridinium, yang bersifat lebih non-polar. Bentuk ini dapat melewati sawar darah otak, mencapai tempat spesifik di otak dan dengan cepat dioksidasi menjadi bentuk aktifnya.
             Asiklovir adalah senyawa yang digunakan untuk pemgobatan infeksi herpes simpleks dan herpes zoster. Secara oral absorpsi dalam saluran cerna relatif rendah, yaitu lebih kurang 20% pada dosis 200 mg dan sedikit meningkat pada dosis di atas 800 mg. Pra-obat asiklovir adalah           6-deoksiasiklovir, digunakan sebagai pencegahan infeksi herpes pada penderita hematologis malignan. Secara oral 6-deoksiasiklovir diabsorpsi lebih baik dan memberikan kadar plasma lebih tinggi dibanding asiklovir. Pada in vivo senyawa diubah menjadi asiklovir aktif oleh enzim xantin oksidase.
              Efek antihipertensi dari asam enalaprilat, suatu penghambat enzim pengubah angiotensin (Angiotensin-Converting Enzyme = ACE), telah dikembangkan lebih lanjut dengan mengubahnya menjadi bentuk ester etil, enalapril, yang secara oral diabsorpsi lebih baik. Pra-obat enalapril pada in vivo dipecah oleh enzim menjadi asam enalaprilat aktif.
             Adrenalin digunakan untuk pengobatan glaucoma karena dapat mengurangi tekanan intraocular. Pra-obat yang lebih lipofil, dipivefrin, mempunyai efek terapetik lebih baik dibanding adrenalin. Dipivefrin 100 kali lebih aktif dibanding adrenalin karena transpor ke kornea lebih efisien, diikuti oleh pemecahan ester pada jaringan kornea, melepaskan adrenalin dalam cairan aqueous humour. Dipivefrin dengan dosis yang lebih rendah (0,1%) dibanding adrenalin (1,0%), sudah memberikan efek yang diinginkan, dan dapat mengurangi efek samping yang ditimbulkan oleh adrenalin, seperti efek terhadap jantung.
              Pilokarpin adalah obat mata yang mempunyai efek miotik, dengan masa kerja pendek. Garam kuartener heksadekanoilmetilpilokarpin mempunyai rantai samping yang bersifat lipofil. Pada kadar sepersepuluh dari pilokarpin, dapat memberikan efek miotik dengan masa kerja yang lebih panjang dibanding pilokarpin. Aktivitas tersebut ditunjukkan oleh pilokarpin, sebagai hasil pemecahan hidrolitik garam kuartener diikuti dengan pelepasan formaldehid.

3.    Modifikasi untuk menghilangkan sifat fisik obat yang tidak diinginkan
           Formaldehid adalah gas tak berwarna yang mudah terbakar, berbau tidak menyenangkan dan dapat mengiritasi mukosa membran. Larutan formaldehid digunakan sebagai disinfektan dan antiseptik. Formaldehid tidak digunakan secara langsung melalui oral karena menimbulkan efek samping dan toksisitas cukup besar. Metanamin, pra-obat yang dibuat dengan mereaksikan formaldehid dan amonia, dapat menghilangkan sifat fisik yang tidak diinginkan di atas, dan sangat berguna untuk antiseptik saluran seni. Pada pH urin yang bersifat asam, metanamin melepaskan secara perlahan-lahan formaldehid aktif dan amonia di tubulus ginjal.
             Antibiotik kloramfenikol, sekarang jarang digunakan secara oral, kecuali untuk pengobatan demam tipoid dan infeksi Salmonella, karena menimbulkan efek toksik agranulositosis cukup besar. Kloramfenikol mempunyai rasa yang sangat pahit sehingga kurang sesuai diberikan pada anak-anak. Kloramfenikol sekarang digunakan pada sediaan farmasi dalam bentuk tidak aktifnya, yaitu ester palmitat atau sinamat yang tidak berasa. Obat aktif akan dilepaskan aktifnya dari bentuk esternya melalui proses hidrolisis oleh enzim esterase yang ada di usus halus.
             Rasa pahit antibiotik klindamisin dapat ditutupi dalam bentuk pra-obat ester palmitat, sedang eritromisin dalam bentuk pra-obat ester hemisuksinat.

4.    Modifikasi untuk pengaturan obat pada tempat yang khas di tubuh
             Modifikasi obat menjadi pra-obat mempunyai peran penting untuk meningkatkan efikasi obat, karena ada perbedaan distribusi pra-obat dalam jaringan tubuh sebelum melepaskan bentuk aktifnya. Modifkasi tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu membuat senyawa menjadi lebih hidrofilik, pembentukan ester, pembentukan kompleks dengan ADN, dan mengembangkan lokalisasi selektif obat di dalam sel target. Penggabungan gugus-gugus hidrofilik kuat pada sulfonamida, dapat mencegah absorpsi obat pada saluran cerna sehingga pra-obat tetap tinggal di saluran usus dan efektif untuk pengobatan infeksi usus. Contohnya sulfaguanidin, suksinilsulfatiazol, dan ptalilsulfatiazol.
            Contoh serupa adalah merancang glikosida tertentu dari obat antiradang kortison, dengan tujuan agar pra-obat dapat melepaskan senyawa induk aktif dalam usus besar.
             Glikosida obat bersifat meruah dan pada umumnya lebih bersifat hidrofil dibanding senyawa induknya, sehingga dapat menurunkan absorpsi obat dalam saluran cerna. Di usus besar, pra-obat dihidrolisis oleh enzim glikosidase bakteri, melepaskan senyawa induk aktif. Pengembangan lokalisasi selektif obat telah dicapai pada obat-obat antikanker yang mampu menekan pertumbuhan jaringan neoplastik dengan menggunakan pra-obat non-toksik, yang dapat melepaskan obat aktif dalam sel kanker. Cara lain adalah meningkatkan aktivitas enzim dalam sel, seperti meningkatkan aktivitas enzim reduktase pada sel-sel hipoksik yang kekurangan oksigen.
              Pra-obat siklofosfamid digunakan untuk pengobatan jenis kanker tertentu dan sebagai kekebalan sesudah transplantasi organ. Pra-obat tersebut tidak mempunyai sifat mengalkilasi karena adanya sifat penarik elektron dari gugus fosfono yang berdekatan akan menurunkan sifat nukleofil atom nitrogen dari β-kloretilamin sehingga mencegah pembentukan ion pengalkilasi etilenium reaktif. Pra-obat dimetabolisis mmelalui proses hidroksilasi di hati menjadi senyawa pengalkilasi aktif dan normustin.
             Akrolein yang dihasilkan pada waktu cincin siklofisfamid terbuka dapat menyebabkan kerusakan kandung kemih. Kesulitan ini dapat diatasi siklofosfamid diberikan bersama-sama dengan alkil sulfide (sodium α-merkaptoetansulfonat; Mesna), karena akrolein yang terbentuk akan mengalami adisi pada atom C-β menghasilkan produk yang tidak toksik. Cara lain adalah menggunakan bentuk modifikasi siklofosfamid yang tidak membentuk akrolein pada waktu cincin terbuka. Pembentukan pra-obat dan bentuk modifikasi siklofosfamid di atas dijelaskan pada mekanisme berikut :
5.    Modifikasi untuk meningkatkan kelarutan obat
6.    Modifikasi untuk meningkatkan masa kerja obat
7.    Modifikasi untuk kestabilan obat

C.  RANCANGAN YANG LEBIH EFISIEN BERDASARKAN METABOLISME OBAT
              Telah banyak pengetahuan tentang proses metabolism yang terjadi dalam tubuh. Obat sebagai subyek diubah menjadi produk biologis yang tidak aktif. Dalam hal tertentu, pengetahuan ini merangsang ahli kimia medicinal untuk melakukan manipulasi kimia yang lebih baik agar menghasilkan obat yang secara terapetik aktif dan mempunyai tampilan yang lebih baik dibanding senyawa induknya. Manipulasi kimia mungkin dirancang untuk memperpendek atau meningkatkan masa kerja senyawa induk, dengan cara memodifikasi senyawa induk dan meramalkan hal-hal yang mempengaruhi kecepatan metabolismenya. Modifikasi ini dapat mempengaruhi lama obat dalam plasma dan menjaga agar kadar obat tetap berada di atas nilai ambang yang bertanggung jawab pada efek farmakologis. Pendekatan yang lebih rasional pada rancangan obat ini hanya digunakan untuk obat-obat yang telah ada atau pada tipe dasar obat dengan aktivitas yang diketahui. Hal ini berarti untuk mendapatkan aktivitas biologis yang diinginkan, senyawa induk sebagai jalur pengembangan produk terapetik menjadi lebih dapat diterima dan lebih meyakinkan dibanding sebelumnya.
1.    Modifikasi untuk memperpendek masa kerja obat
              Pemasukan ke molekul obat gugus-gugus yang mudah diserang (gugus vulnerable) oleh proses metabolisme dalam tubuh, akan memberikan masa kerja yang lebih singkat dibanding senyawa induk. Diperkirakan hasil modifikasi tersebut tidak mengubah aktivitas, penyerapan, dan distribusi senyawa induk. Sangat sedikit contoh-contoh yang diketahui bahwa lebih diinginkan turunan dengan efek terapetik yang lebih singkat dibanding senyawa induk, kecuali untuk obat-obat yang digunakan untuk operasi pembedahan. Untuk pengobatan kronik pada umumnya lebih disukai obat-obat dengan masa kerja yang panjang.
Obat relaksasi otot sering digunakan sebagai penunjang anestesi pada operasi pembedahan, agar diperoleh efek relaksasi otot yang lebih besar. Bila diperlukan anestesi dengan masa kerja singkat, suatu bahan dipolarisasi dengan masa kerja yang panjang seperti dekametonium, menyebabkan rasa nyeri yang tidak menyenangkan, setelah pasien sadar. Dalam keadaan ini lebih baik digunakan relaksan otot yang mempunyai masa kerja singkat, seperti suksametonium klorida. Suksametonium mengandung dua gugus ester vulnerable diantara dua atom N-kationik, sehingga senyawa mudah dimetabolisis.        
            Hidrolisis suksametonium klorida oleh enzim esterase plasma akan menghasilkan senyawa inert, asam suksinat dan kolin, sehingga masa kerja obat menjadi lebih singkat.

2.    Modifikasi untuk memperpanjang masa kerja obat
               Suatu senyawa induk mungkin diubah menjadi obat dengan masa kerja yang lebih panjang melalui beberapa cara. Gugus-gugus pada senyawa induk yang mudah dimetabolisis (gugus vulnerable) akan memberikan masa kerja yang lebih panjang bila:
a.    Dilindungi dari serangan metabolik, yaitu dengan menempatkan gugus tertutup lain di dekatnya sehingga efek halangan ruang menjadi lebih besar
b.    Diganti dengan gugus-gugus yang lebih sulit dimetabolisis
c.    Meningkatkan efek halangan ruang pada gugus vulnerable
                Gugus-gugus vulnerable pada senyawa induk obat dapat diberikan efek halangan ruang terhadap proses metabolic, dengan cara memasukkan gugus alkil di sekitarnya. Keberhasilan metode ini terlihat pada kenaikan waktu paro biologis dari seri alcohol.

D.    Struktur dan Aktifitas Obat
               Sifat-sifat kimia fisika merupakan dasar untuk menjelaskan aktifitas biologis obat karena:
a.    Sifat kimia fisika memegang peranan penting dalam pengagngkutan obat untuk mencapai reseptor. Sebelum mencapai reseptor, molekul-molekul obat harus melalui bermacam-macam membran, berinteraksi dengan senyawa-senyawa dalam cairan luar dan dalam sel serta biopolimer. Disini sifat kimia dan fisika berperan dalam proses penyerapan dan distribusi obat sehingga kadar obat pada waktu tertentu mencapai reseptor dalam jumlah yang cukup besar.
b.    Hanya obat yang mempunyai struktur dengan kekhasan yang tinggi saja yang dapat berinteraksi dengan reseptor biologis, sifat kimia fisika harus menunjang orientasi khas molekul pada permukaan reseptor.
Jenis-jenis kerja obat adalah sebagai berikut:
1.    Obat berstruktur non spesifik
             Obat berstruktur nonspesifik , obat yang bekerja secara langsung tidak tergantung struktur kimia. Mempunyai struktur kimia bervariasi, tidak berinteraksi dengan struktur kimia spesifik. Aktifitas
Biologis dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia fisika seperti: adsorpsi, kelarutan, aktifitas termodinamika, tegangan permukaan, potensi oksidasi reduksi, mempengaruhi permeabilitas, depolarisasi membran, koagulasi protein, dan pembentukan kompleks. Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah anastetika umum, hipnotika, bakterisida, antiseptik dan anti jamur
Ciri-ciri obat yang berstruktur nonspesifik adalah :
a.    Obat tidak bereaksi dengan reseptor spesifik
b.    Kerja biologisnya berlangsung dengan aktifitas termodinamika
c.    Bekerja dengan dosis yang relatif besar
d.    Menimbulkan efek yang mirip walaupun strukturnya berbeda
e.    Kerjanya hampir tidak berubah pada modifikasi struktur

2.    Obat berstruktur spesifik
              Obat berstruktur spesifik yaitu obat-obat yang memberikan aktifitas biologis akibat adanya ikatan obat dengan reseptor atau akseptor spesifik. Aktivitas biologisnya dihasilkan dari struktur kimia yang mengadaptasikandirinya ke dalam struktur reseptor dalam bentuk tiga dimensi dalam organisme dan membentuk kompleks.
Karakteristik obat berstruktur spesifik
a.    Efektif pada kadar rendah
b.    Modifikasi sedikit dalam struktur kimianya akan menghasilkan perubahan dalam aktifitas biologisnya
c.    Melibatkan kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal
d.    Pada keadaan kesetimbangan, aktivitas biologisnya maksimal
e.    Melibatkan ikatan-ikatan kimia yang lebih kuat dibandingkan pada senyawa yang berstruktur nonspesifik.
Mekanisme obat yang mungkin terjadi
•Bekerja terhadap enzim antagonis dengan cara pengaktifan, penghambatan, atau pengaktifan kembali enzim-enzim tubuh.
•Penularan fungsi gen yang bekerja pada membran, yaitu dengan mengubah membran sel dan mempengaruhi sistem transport membran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktifitas biologis
a.    Sifat kimia fisika
b.    Koefisien partisi
Koefisien partisi adalah kelarutan relatif zat antara dua fase yang saling tidak tercampur.
c.    Derajat ionisas

E.    Efek Farmakologi Gugus Spesifik
             Modifikasi dalam molekul suatu senyawa induk adalah salah satu cara untuk mendapatkan obat baru, variasi dalam struktur akan mengubah aktivitas biologis yang ditentukan oleh sifat  fisika, distribusi ke sel dan jaringan, penembusan ke enzim dan reseptor, cara bereaksi ke target dan eksresi

F.    Modifikasi Lamanya Aksi Obat
            Modifikasi Lamanya Aksi Obat yaitu aksi yang diperpanjang atau diperpendek, biasanya diinginkan agar obat mempunyai kerja yang diperpanjang, contoh :antibiotik sering diperlukan untuk memperoleh konsentrasi yang tinggi dan harus dipertahankan dalam darah. Ada beberapa cara yang digunakan untuk memperpanjang aksi obat:
a.    Esterifikasi: terutama untuk steroid seperti androgen, estrogen, progesteron, dan juga antibiotik tertentu, sperti eritromisin, oleondromisin.
b.    Pembentukan kompleks, seperti: vit B-12, amfetamin tannat
c.    Pembentukan garam, contoh: garam penisilin seperti prokain penisilin
d.    Pengubahan senyawa-senyawa yang tidak jenuh menjadi jenuh, contoh prednison menjadi prednisolon.
           Jika ingin memperpendek lama kerja obat dapat dengan mengganti gugus kimia yang stabil dengan yang labil, contoh: substitusi ion cl dari Cl-profamid dengan gugus metil menjadi tolbutamid, karena gugus metil labil maka gugus ini segera teroksidasi menjadi karboksilat yang memberikan suatu produk inaktif, waktu paruh tolbutamid hanya 5,7 jam sedangkan klorporamid 33 jam.
            Berdasarkan sumbernya dewasa ini obat digolongkan menjadi 3 diantaranya adalah :
1.    Obat alamiah
Obat alamiah adalah obat yang terdapat di alam, contohnya pada tanaman, kuinon dan atropin, pada hewan contohnya minyak ikan dan hormon, serta mineral contohnya adalah belerang, Kbr
2.    Obat semisintetik
Obat semisintetik adalah obat hasil sintesis yang bahan dasarnya berasal dari obat bahan alam, contoh morfin menjadi kodein dan diosgenin menjadi progesteron.
3.    Obat sintetik murni
Obat sintetik murni adalah obat yang bahan dasarnya tidak berkhasiat, setelah disintesis akan didapatkan senyawa dengan khasiat farmakologis tertentu. Contoh : obat-obatan golongan analgetik-antipiretik, antihistamin dan diuretik.
            Tiga fasa yang menentukan terjadinya aktifitas obat diantaranya adalah :
1.    Fasa farmasetik
Fasa farmasetis meliputi proses pabrikasi, pengaturan dosis dan proses formulasi, bentuk sediaan, pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya zat aktif. Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk diserap oleh tubuh.
2.    Fasa farmakokinetik
Fasa farmakokinetik meliputi proses penyerapan obat (Absorpsi), distribusi obat, metabolisme obat, dan Eksresi obat (ADME). Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk mencapai sasaran atau reseptor sehingga dapat menimbulkan respons biologis.
3.    Fasa farmakodinamik
Fasa farmakodinamik merupakan fasa terjadinya interaksi antara obat dengan reseptor dalam jaringan sasaran. Fasa ini berperan dalam timbulnya respons biologis



                                                                        Daftar Pustaka

Siswandono dan Bambang, S. 2000. Kimia Medisinal .Airlangga University     Press: Surabaya.